Suku Baduy, Adat Istiadat Baduy,
Sejarah Baduy
unik,
aneh, lucu, misteri, kriminal, alam, agama, nasional, artis, tips, dan agen bola
|
kamu sedang membaca Suku Baduy, Adat Istiadat
Baduy, Sejarah Baduy -
adat
istiadat orang pedalaman (baduy)
Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok
masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan “Baduy”
merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat
tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan
mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang
berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy
dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri
lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau “orang Kanekes” sesuai dengan
nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka
seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).
Bahasa
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek
Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar
menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan
tersebut dari sekolah. Orang Kanekes ‘dalam’ tidak mengenal budaya tulis,
sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya
tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
Asal Usul
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku
keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus
ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai
nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya,
termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk
menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan
pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis
dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis
dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai ‘Tatar Sunda’ yang cukup minim
keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum
keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor
sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa
ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan
dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu,
dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman.
Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk
Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu
diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga
dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng
tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya
menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami
wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000).
Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu,
identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk
melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset
kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Baduy
adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap
pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Baduy sendiri pun menolak jika
dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-oraang pelarian dari Pajajaran, ibu
kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy
merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala’ (kawasan suci) secara resmi
oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat
pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di
daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau ‘Sunda Asli’ atau Sunda
Wiwitan (wiwitann=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli
mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy
sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiksa.
Ada versi lain dari sejarah suku baduy, dimulai ketika Kian
Santang putra prabu siliwangi pulang dari arabia setelah berislam di tangan
sayyidina Ali. Sang putra ingin mengislamkan sang prabu beserta para
pengikutnya. Di akhir cerita, dengan ‘wangsit siliwangi’ yang diterima sang
prabu, mereka berkeberatan masuk islam, dan menyebar ke penjuru sunda untuk
tetap dalam keyakinannya. Dan Prabu Siliwangi dikejar hingga ke daerah lebak
(baduy sekarang), dan bersembunyi hingga ditinggalkan. Lalu sang prabu di
daerah baduy tersebut berganti nama dengan gelar baru Prabu Kencana Wungu, yang
mungkin gelar tersebut sudah berganti lagi. Dan di baduy dalamlah prabu
siliwangi bertahta dengan 40 pengikut setianya, hingga nanti akan terjadi perang
saudara antara mereka dengan kita yang diwakili oleh ki saih seorang yang
berupa manusia tetapi sekujur tubuh dan wajahnya tertutupi oleh bulu-bulu
laiknya monyet.dan ki saih ini kehadirannya di kita adalah atas permintaan para
wali kepada Allah agar memenangkan kebenaran.
Kepercayaan
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda
Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada
perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam.
Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat
mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi
terpenting dari ‘pikukuh’ (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep “tanpa
perubahan apapun”, atau perubahan sesedikit mungkin:
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang
disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak
bisa/tidak boleh disambung)
Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan
secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan
tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat
sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya
menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan
rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang
penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan
mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak
melakukan tawar-menawar.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah
Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang
Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali
pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya
puun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat
terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca
Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada
saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang
jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada
tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya,
apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda
kegagalan panen (Permana, 2003a).
Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan
masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan
kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.
Kelompok Masyarakat Suku Baduy
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok
yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu adalah
kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam, yang paling ketat mengikuti adat,
yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik).
Ciri khas Orang Baduy Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua
serta memakai ikat kepala putih. Kelompok masyarakat panamping adalah mereka
yang dikenal sebagai Baduy Luar, yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar
mengelilingi wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot,
Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Baduy Luar berciri khas
mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Apabila Baduy Dalam dan
Baduy Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka “Baduy Dangka” tinggal di luar
wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu
Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut
berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar (Permana, 2001).
Struktur Pemerintahan
Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu
sistem nasional, yang mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua
sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi
perbenturan. Secara nasional penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang
disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat
tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu “puun”. Struktur
pemerintahan secara adat Kanekes adalah sebagaimana tertera pada Gambar 1.
Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah
“puun” yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung
turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga
kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan puun tidak ditentukan, hanya berdasarkan
pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.
Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapuunan (kepuunan)
dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu,
jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung
jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan
lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan
leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang,
yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas.
Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro
pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat
Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa,
carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung (Makmur, 2001).
Mata
Pencaharian
Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka
mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu
mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang
mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.
Interaksi
Dengan Masyarakat Luar Baduy
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti
adat istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun
masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan
Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya
pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada
penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan
Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus
dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija,
buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat),
melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Baduy Luar
berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa menyewa tanah,
dan tenaga buruh.
Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara
barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes
menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak.
Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar.
Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya,
Cibengkung, dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes
semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya
merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa
lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam,
dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana.
Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Baduy Dalam,
tidak menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes
tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang
mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang
Baduy juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat
harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang
terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang
ke Baduy sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan
tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan
hidup.
0 komentar:
Posting Komentar